Wednesday, December 3, 2008

Sejarah Pemilu Part 2 (1977-2004)

Ini lanjutan nya tentang Sejarah Pemilu.

PEMILU 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997

Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan. Satu hal yang nyata perbedaannya dengan pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi.

Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara langsung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer. Berikut ini dipaparkan hasil dari 5 kali Pemilu tersebut secara berturut-turut.

Hasil Pemilu 1977
Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971. Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar. PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan kursi hanya 5.

PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan Partai Katolik.

Hasil Pemilu 1982
Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi.

Hasil Pemilu 1987
Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan 23 April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya.

Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi partai itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka'bah kepada Bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Sementara itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini.

Hasil Pemilu 1997
Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya.

PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar.

Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992.


PEMILU 1999

Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie.

Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.

Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Sebelum menyelenggarakan pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu, dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.

Ketiga draf UU ini disiapkan sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof Dr M Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).

Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah.

Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.

Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi perdana menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelumnya.

Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak dia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial, dan penegakan hukum serta tekanan internasional.

Hasil Pemilu 1999
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa daerah tingkat II di Sumatra Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara.

Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27 partai politik menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih pemilu belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno KPU. Ke-27 partai tersebut adalah sebagai berikut:

Partai yang Tidak Menandatangani Hasil Pemilu 1999. Nomor Nama Partai
1. Partai Keadilan
2. PNU
3. PBI
4. PDI
5. Masyumi
6. PNI Supeni
7. Krisna
8. Partai KAMI
9. PKD
10. PAY
11. Partai MKGR
12. PIB
13. Partai SUNI
14. PNBI
15. PUDI
16. PBN
17. PKM
18. PND
19 PADI
20. PRD
21. PPI
22. PID
23. Murba
24. SPSI
25. PUMI
26 PSP
27. PARI

Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomendasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyararakat pada 26 Juli 1999.

Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya pembagian kursi sisa, ditolak oleh kelompok partai Islam yang melakukan stembus accoord.

Hasil Kelompok Kerja PPI menunjukkan, partai Islam yang melakukan stembus accoord hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok stembus accoord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa.

Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada KPU. Di KPU perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting dengan dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord.

Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi hasil pemilu pada 1 September 1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan.

Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 1997.

PEMILU 2004

Pemilihan Umum Indonesia 2004 adalah pemilu pertama yang memungkinkan rakyat untuk memilih presiden secara langsung, dan cara pemilihannya benar-benar berbeda dari Pemilu sebelumnya. Pada pemilu ini, rakyat dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden (sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui Presiden). Selain itu, pada Pemilu ini pemilihan presiden dan wakil presiden tidak dilakukan secara terpisah (seperti Pemilu 1999) -- pada pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan calon (pasangan calon presiden dan wakil presiden), bukan calon presiden dan calon wakil presiden secara terpisah.

Pentahapan Pemilu 2004
Pemilu ini dibagi menjadi maksimal tiga tahap (minimal dua tahap):
� Tahap pertama (atau pemilu legislatif") adalah pemilu untuk memilih partai politik (untuk persyaratan pemilu presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Tahap pertama ini dilaksanakan pada 5 April 2004.
� Tahap kedua (atau pemilu presiden putaran pertama) adalah untuk memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden secara langsung. Tahap kedua ini dilaksanakan pada 5 Juli 2004.
� Tahap ketiga (atau pemilu presiden putaran kedua) adalah babak terakhir yang dilaksanakan hanya apabila pada tahap kedua belum ada pasangan calon yang mendapatkan suara paling tidak 50 persen (Bila keadaannya demikian, dua pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak akan diikutsertakan pada Pemilu presiden putaran kedua. Akan tetapi, bila pada Pemilu presiden putaran pertama sudah ada pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen, pasangan calon tersebut akan langsung diangkat menjadi presiden dan wakil presiden). Tahap ketiga ini dilaksanakan pada 20 September 2004.

Pemilu Legislatif 2004
Pemilu legislatif adalah tahap pertama dari rangkaian tahapan Pemilu 2004. Pemilu legislatif ini diikuti 24 partai politik, dan telah dilaksanakan pada 5 April 2004. Pemilu ini bertujuan untuk memilih partai politik (sebagai persyaratan pemilu presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Partai-partai politik yang memperoleh suara lebih besar atau sama dengan tiga persen dapat mencalonkan pasangan calonnya untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu pada Pemilu presiden putaran pertama.

Sumber

No comments:

Post a Comment